Asuransi Lingkungan Atau Liability Insurance Policy Including Environmental Liability Bagi Pengolah dan Pemanfaat Limbah B3
Sesuai ketentuan peraturan perundangan, sebagai salah satu persyaratan bagi para pengolah dan pemanfaat limbah B3 adalah harus memiliki Asuransi Lingkungan Atau Liability Insurance Policy Including Environmental Liability.
Sampai hari ini, bagi para pelaku industri dan atau industri kecil, masalah limbah masih merupakan hal yang sangat pelik. Dari perhitungan ekonomis, mengolah limbah merupakan tindakan operasional yang tidak membawa keuntungan. Namun di sisi lain ada undang-undang.
Ibaratnya, makan buah simalakama.
Diolah butuh biaya ( dan itu tidak sedikit ), tidak diolah akan terkena sangsi.
Lebih pelik lagi jika sudah menyangkut pada limbah B3 ( limbah bahan beracun berbahaya ).
Sebagaimana dengan limbah lainnya, para pelaku industri / usaha, baik perorangan ataupun badan usaha, seharusnya diwajibkan untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan industrinya.
Sebenarnya sudah cukup banyak kalangan pelaku usaha/industri yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk melakukan pengelolaan / pengolahan limbah B3 yang mereka hasilkan.
Hanya saja untuk mengolah / mengelola limbah B3 bukalah suatu pekerjaan yang mudah dan murah.
Sebab selain dibutuhkan teknologi yang lebih dibandingkan dengan mengolah limbah yang “biasa”, fasilitas ( pengolahan ) yang harus disediakan pun boleh dibilang masuk dalam kategori “luar biasa”.
Bayangkan saja, “hanya” untuk mengangkut limbah B3 saja pelaku usaha harus memiliki ijin khusus. Menyimpan limbah B3 harus memiliki ijin. Mengelola / mengolah limbah B3 juga harus berijin. Dan memanfaatkannya-pun harus berijin. Semuanya harus berijin.
Baru untuk mengurus ijin-ijin ini saja bisa dipastikan sudah sangat repot.
Belum lagi dengan fasilitas pengelolaan / pengolahan yang wajib disediakan.
Semuanya harus merupakan fasilitas khusus, tidak boleh menggunakan fasilitas yang biasa-biasa saja.
Yang jika dihitung-hitung, total jendral biaya yang harus dikeluarkan bahkan bisa digunakan untuk membangun sebuah pabrik tersendiri ! Mana tahan ?
Karena itulah, para pelaku usaha / industri. “lebih suka” menyerahkan limbah B3 yang terpaksa dihasilkannya kepada pihak ketiga. Inipun masih tidak lepas dari penyediaan fasilitas penyimpanan sementara limbah B3 ( TPS-B3 ) yang biaya pembangunannya juga tidak kalah besarnya ( karena harus memiliki dan memenuhi beberapa persyaratan khusus ).
Apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini ( sedemikian ketatnya dalam penanganan limbah B3 ) melalui serangakaian peraturan perundangannya, memang bisa dimaklumi.
Sebab slogan “para perusak lingkungan harus dihukum berat” memang harus ditegakkan.
( Namun “dimaklumi” belum tentu berarti diterima dengan senang hati ).
Namun pertanyaannya adalah, apakah pemerintah – dalam hal ini termasuk instansi terkait yang menggawangi – memang sudah benar-benar siap ?
Ilustrasi mudahnya, jika minyak tanah ditarik dari peredaran maka ada bahan bakar gas sebagai penggantinya. Jika becak dilarang di jalan, maka ada angkutan umum lain sebagai solusinya.
Tetapi bagaimana dengan limbah B3 ?
Di satu sisi, instansi yang berwenang begitu “menekan” para pelaku industri untuk selalu mengelola limbah B3 dengan baik dan benar.
Di sisi lainnya, apa yang telah disediakan oleh pemerintah untuk – bahkan hanya untuk sekedar – memfasilitasi hal ini ?
Selain daripada undang-undang dan peraturan limbah B3 yang lebih cenderung “menghakimi” ?
Coba tanya para pelaku usaha / industri, mereka rata-rata pasti merasa sangat kesulitan ketika mencoba mencari “bantuan dan solusi” kepada instansi / pemerintah dalam hal pengolahan limbah B3 ini.
Jawaban umum yang paling sering diterima adalah, undang-undang telah mengatur seperti itu, jadi pokoknya harus begitu.
Namun jika ditelusuri lebih jauh, hal seperti ini sepertinya – lagi-lagi – bisa dimaklumi. Sebab, undang-undang dan peraturan limbah B3 yang telah ditetapkan dan berlaku, sepertinya memang belum memilki “roh” dan “mempertimbangkan” kondisi actual di lapangan.
Sebab pada dasarnya, undang-undang dan peraturannya memang sebagian besarnya “hanya” mengadopsi ( jika tidak mau dikatakan sebagai “mencaplok” ), apa yang telah diterapkan di beberapa negara manca. Alias “londo”sana.
Jadi maklum saja, jika undang-undang dan aturan ini, sedikit – buanyaaaaaakk malah dirasa memberati.
Contoh yang lebih gamblang, lagi adalah dalam hal pemanfaatan limbah B3.
Seharusnya "berterima kasih” ketika ada perorangan atau badan, yang segala inisiatif dan inovasinya mencoba untuk mememanfaatkan kembali limbah B3 yang dihasilkan oleh industri.
Salah satu limbah B3 berupa sisa abu pembakaran batu bara - yang biasa disebut sebagai fly ash dan bottom ash - sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk bisa dimanfaatkan kembali.
---
( Itupun masih membingungkan, apakah sisa abu pembakaran abu batu bara ini termasuk limbah B3 atau tidak. Undang-undang, mengatakan iya, itu limbah B3. Tetapi coba saja lakukan identifikasi limbah B3. Sampai 100 kali uji-pun pasti tidak akan ada kandungan B3 di dalamnya.
Kalaupun ada kadarnya amat sangat keciiiiiiiiiil sekali dan masuk dalam batas toleransi.
Anehnya, ada pakar limbah B3 dari negeri di atas awan yang mengatakan bahwa sisa abu batu bara masuk dalam kategori limbah B3 itu gara-gara jumlahnya atau karena kuantitasnya. Jadi karena jumlahnya banyak maka ia menjadi limbah bahan beracun dan berbahaya.
Kwk,,Kwk..entah harus menangis atau tertawa.
Jadi sebaiknya hati-hati. Jangan-jangan, kalau pas kebetulan beli pasir kali untuk bahan bangunan dalam jumlah yang banyak sekali, nanti dikategorikan sebagai B3 )
----
Dari beberapa penelitian, sisa abu pembakaran batu bara memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan kembali sebagai campuran bahan baku pembuatan batu bata atau paving.
Dan banyak pengrajin yang sebenarnya sudah “setuju” dan ingin memanfaatkan limbah abu batu bara ini.
Hal seperti ini seharusnya bisa menjadi nilai plus.
Sebab daripada dianggap hanya merepotkan ( karena masuk limbah B3 ), tetapi malah bisa “disulap” menjadi barang yang bernilai ekonomi. ( Mestinya berterima kasih atau malah mendapat penghargaan).
Tapi alih-alih dilapangkan jalan, upaya-upaya pemanfaatan sisa abu pembakaran batu bara ini malah mendapat ganjalan.
Masalah perijinan – meskipun harus terpaksa dilakukan di Kementrian Lingkungan Hidup – sebenarnya masih tetap bisa dilakukan dan diurus.
Namun hadangan paling besar ada dalam persyaratannya.
Sesuai peraturan perundangan, untuk bisa memanfaatkan kembali limbah B3, pemanfaat ( perorangan atau badan ) diharuskan untuk memiliki pertanggungan Asuransi Lingkungan atau Liability Insurance Policy Including Environmental Liability.
Mungkin ada yang berfikir, apa sih repotnya persyaratan harus memiliki asuransi lingkungan.
Repot sih tidak, wong tinggal mengajukan ke pihak perusahaan asuransi, pasti akan selesai.
Yang menjadi masalah adalah uang pertanggungan asuransinya.
Sebab sesuai peraturan perundangan pula, uang pertangggungan Asuransi Lingkungan yang harus disediakan oleh pemanfaat limbah B3 jumlahnya mencapai MILIARAN rupiah.
Jadi pikir saja, mana ada perajin ( bahkan badan usaha ) yang mau ( atau kuat ) menanggung uang pertanggungan Asuransi Lingkungan yang sebesar itu jumlahnya.
Kecuali itu badan usaha raksasa atau perusahaan gurita, macam perusahaaan kapitalis di negara-negara manca.
Boro-boro, untuk membayar uang pertanggungan Asuransi.
Dengan uang sebanyak itu, mengapa harus mikir memanfaatkan abu bata bara.
Mending dibuat usaha.
Bayar orang, tinggal duduk ongkang-ongkang !
Coba lihat juga :