-->

Sejak Tahun 1946, Tempe Ternyata Populer Di Eropa dan Amerika

Kebanyakan penduduk Indonesia sendiri bisa jadi tidak mengetahuinya.
Mungkin karena penyakit “Eropa – Amerika minded” atau menganggap tempe sebagai makanan yang hanya pantas bagi orang desa, umumnya mereka memandang tempe dengan sebelah mata.
Bahkan kata “tempe” selalu digunakan sebagai ejekan atau pelecehan – khas Indonesia- , terhadap segala sesuatu yang dianggap murahan atau mutu rendahan.


Istilah 'mental tempe' atau 'kelas tempe' dulu begitu akrab digunakan untuk merendahkan, dengan mengacu bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe.

Padahal kenyataan dan faktanya – jika mereka mengetahuinya – tempe bukanlah seperti yang serendah yang mereka kira.

TEMPE, pernah begitu popular di Negara-negara Eropa dan Amerika. Jauh-jauh hari sebelum mereka mengeluarkan ejekan “mental tempe” nya.

Dan bukan karena hal lain, kepopuleran tempe ini tentu saja karena manfaat dan khasiat hebatnya ( …..sayang mereka belum mengetahuinya….. ).

Tidak seperti makanan tradisional yang berasal dari kedelai lainnya, yang umumnya berasal dari negeri Cina atau Jepang, tempe memang benar-benar khas, berasal dari Indonesia.
Namun demikian tidak ada catatan pasti tentang kapan tempe ini mulai dibuat dan dikonsumsi. Sebab makanan tradisonal ini ternyata telah dikenal sejak berabad-abad lamanya, utamanya dalam tatanan budaya Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta dan Surakarta.

Kata “tempe” sendiri telah tertulis dalam manuskrip Serat Centhini, sebuah manuskrip kuno terkenal dan sering menjadi rujukan dalam mempelajari budaya dan adat istiadat Jawa, dengan setting pada abad ke-16.

Bahkan kata "tempe" ini diduga kuat berasal dari bahasa Jawa Kuno.
Karena di jaman Jawa Kuno juga terdapat makanan berwarna putih yang terbuat dari tepung sagu dan disebut tumpi. Sedangkan tempe yang masih segar, juga berwarna putih, memiliki kesamaan dengan tumpi tersebut.

Terdapat pula sebuah rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda.
Sumber lainnya mengabarkan bahwa pembuatan tempe diawali pada era Tanam Paksa di Jawa. Dimana saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan.
Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh imigran Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus.

Saat zaman pendudukan Jepang di Indonesia, tawanan perang yang diberi makan dengan tempe ternyata dapat terhindar dari penyakit disentri dan busung lapar.
Kemudian sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai 1960-an juga menyimpulkan bahwa begitu banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe.

Tempe kemudian dikenal oleh masyarakat Eropa lewat orang Belanda.

Pada tahun 1895, seorang ahli kimia dan mikrobiologi Belanda, Prinsen Geerlings melakukan identifikasi untuk yang pertama kali pada kapang tempe.

Melalui Belanda pula, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946.

Kemudian tempe menjadi populer di Amerika Serikat, setelah Yap Bwee Hwa pertama kali membuat tempe di sana pada tahun 1958.
Yap Bwee Hwa sendiri merupakan orang berkebangsaan Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah tentang tempe.
Bahkan di Jepang, tempe sudah diteliti sejak mulai tahun 1926.

Hingga akhirnya pada tahun 1984 tercatat terdapat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang.

Sedangkan di beberapa negara lainnya, seperti Republik Rakyat Cina, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di kalangan terbatas.

Maka saat ini, tempe telah mendunia. Bahkan kaum vegetarian di seluruh dunia, dalam pemilihan nutrisi asupan makannya, telah menggunakan tempe ini sebagai pengganti daging.

Akibatnya tempe kemudian diproduksi di banyak tempat di dunia.
Penelitian di berbagai negara, mulai dari Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat termasuk Indonesia saat ini berusaha mengembangkan galur (strain) unggul Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat, berkualitas, atau meningkatkan lagi kandungan gizi dari tempe.

Sehingga beberapa pihak bahkan sempat khawatir dengan penelitian ini sebab bisa mengancam keberadaan tempe sebagai bahan pangan yang sudah jadi milik masyarakat umum.

Sebab galur ragi tempe unggul ini dapat didaftarkan hak patennya, sehingga penggunaannya dilindungi undang-undang atau harus memerlukan lisensi dari pemegang hak paten.

Artinya, bahkan Negara-negara maju yang selama ini di”minded” kan ternyata saat ini sudah begitu kepincut-nya dengan tempe.

Maka sudah tidak pantas lagi menggunakan kata “mental tempe” untuk sebuah ejekan atau pelecehan. Patutnya, saatnya menggunakan “mental tempe” untuk sebuah kebanggaan, KHAS - Indonesia.

You may like these posts