-->

Mengapa Istilah Sholat Di Indonesia Disebut Sembahyang ? Bagaimana Asal usulnya ?

“Mau kemana kang ? Kok cepet-cepet amat ?” 
Ini..., mau sembahyang. 

Cuplikan dialog singkat di atas ketika terjadi di Jawa, mungkin orang-orang pasti sudah pada mudheng, bahwa dengan mengatakan “mau sembahyang”, si Kang mau pergi ke masjid atau musholla untuk menunaikan Sholat. 
Namun ketika terjadi di daerah yang berbeda, di Bali misalnya, maka maksudnya akan berbeda pula. Sembahyang disini dimaksudkan pergi ke kuil untuk melakukan pemujaan. 
Demikian pula halnya jika terjadi di lingkungan yang mayoritas beragama KonghuChu, maksudnya serupa, melakukan pemujaan. 

Dari sini timbul pertanyaan, jika yang dimaksudkan berbeda, mengapa di sebagian besar daerah di Indonesia digunakan kata yang sama ? 
Sedangkan dalam ajaran Islam sendiri telah “disediakan” kata yang paling tepat untuk menujukkan maksud tersebut, yaitu sembahyang ? 

Jadi, mengapa sholat disebut sebagai sembahyang ? Bagaimana asal –usulnya ? 

Agak berbeda dengan pemahaman masyarakat pada umumnya yang beranggapan bahwa pemeluk agama Hindu menyembah banyak dewa, secara konseptual, agama Hindu sebenarnya mengajarkan faham monoteistis atau menyembah penguasa Tunggal. 
Hal ini bisa terlihat jika merujuk pada konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu. Dimana para penganut agama Hindu menyembah kepada Hyang (sanghyang, sangiang). 
Hyang atau sanghyang atau sangiang adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, baik berupa kekuatan baik maupun kekuatan jahat. Dimana kekuatan-kekuatan ini dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. 
Hyang menguasai seluruh roh-roh dan mengendalikan seluruh kekuatan alam, termasuk para dewa. Karena kekuatan dari Hyang dianggap melebihi kekuatan dewa-dewa ( yang sebenarnya datang kemudian ). 

Jadi pada masa-masa awal masuknya Hindu, agama ini sebenarnya mengajarkan konsep ke-esa-an hyang, karena semua kekuatan di alam – termasuk dewa - tunduk dan takluk pada hyang ini. 
Hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam. 
Dengan kata yang sederhana, ajaran Hindu ( pada masa awal ) sebenarnya menganut faham monoteistis. 

Konsep Monotheisme pada agama Hindu juga tergambar dalam hirarki kepatuhan pada Naskah Siksakandang Karesian, yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan), yang isinya sebagai berikut : 

“Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” 

Jika disimak, konsepsi “Batara Tunggal” pada orang Sunda pra Hindu ini sejalan atau sesuai dengan apa yang diajarkan dalam agama Islam, yaitu Allah, sebagai Dzat Maha Pencipta, Yang Maha Esa. 

Para ahli sejarah berpendapat dan menduga kuat bahwa keberadaan ajaran Monotheisme dalam masyarakat Hindu Sunda, tidak terlepas dari keterkaitan historis leluhur masyarakat Sunda, yang bernama Dewawarman I , yang merupakan Pendiri Kerajaan Salakanagara, yang tidak lain adalah seorang perantau dari Pallawa, Bharata (India) dengan salah seorang Pelopor Monotheisme, Nabi Ibrahim. 
Bangsa Pallawa sendiri pada mulanya berasal dari Tanah Persia, yang jika ditelusuri lebih jauh, susur galurnya akan sampai kepada zuriat Nabi Ibrahim as.  
Demikian juga dengan leluhur masyarakat Sunda lainnya yang bernama Ajisaka. 
Ajisaka diperkirakan berasal dari Negeri Saka (Sakas), dimana silsilah Bangsa Sakas juga akan bertemu kepada Keluarga Nabi Ibrahim as. 

Dengan adanya “link” ini ditambah dengan munculnya proses Islamisasi di Nusantara, dimana dengan adanya kesamaan “basic” monotheisme , maka banyak pemeluk agama Hindu yang merasa“enjoy” dan kemudian ber”migrasi” memeluk agama Islam. 

Lalu terjadilah akulturasi, sehingga lahirlah istilah “sembahyang”, yang menunjukkan ritual untuk menyembah Yang Maha Esa ( Yang Tunggal ). 

Meski dalam hal ini ritualnya berbeda ( antara Hindu dan Islam ) dan berbeda pula Yang dimaksud dengan Yang Maha Esa ( Hindu : Batara Tunggal, Islam : Allah ). 
Namun pada dasarnya, istilah Sembahyang yang merupakan kependekan dari menyembah Hyang (Yang Tunggal), adalah “serupa” dengan kata “sholat” yang merupakan istilah yang sangat spesifik dan khas dalam Islam untuk ritual menyembah Allah Yang Maha Esa. Meskipun agar supaya tidak terjadi bias atau pengaburan maksud, istilah “sholat” jauh lebih tepat untuk digunakan pada saat ini. 
Kisah menarik tentang mualaf Islam :

You may like these posts