-->

Fenomena Segi Tiga Setan Di Langit Brasil Diungkap

Selama ini wilayah perairan di sekitar Bermuda – yang disebut dengan nama Segitiga Bermuda – dikenal sebagai daerah lautan yang paling angker dan mengerikan di dunia. Tercatat sudah puluhan bahkan ratusan, baik kapal berukuran besar ataupun pesawat terbang yang tiba-tiba hilang tanpa bekas ketika melintasi wilayah perairan tersebut. Karena itulah selain dinamakan sebagai Segitiga Bermuda, wilayah perairan tersebut juga disebut dengan segi tiga setan.

Anehnya, meski persitiwa tragis seperti itu sudah cukup sering terjadi – yang bahkan para ahli sendiri menyatakan masih ada beberapa wilayah lagi di lautan, termasuk di Indonesia yang dikenal dengan segitiga Masalembo – namun sampai saat ini para ahli masih belum bisa mengungkap secara tuntas dan menjelaskan secara terperinci mengapa peristiwa seperti ini bisa terjadi.
Hingga pada akhirnya berkembang berbagai macam mitos tentang wilayah perairan yang seperti itu.

Yang lebih mengejutkan, terjadinya fenomena segitiga Bermuda ternyata tidak hanya bisa terjadi pada wilayah perairan saja. Fenomena segitiga setan ternyata juga terjadi di angkasa. Seperti adanya segitiga setan di langit Brasil.

Kejadian tepatnya adalah pada tanggal 25 September 2010. Saat itu, satelit Space Based Space Surveillance (SBSS) kepunyaan Angkatan Udara Amerika Serikat diluncurkan. Dengan segala kecanggihannya, pesawat seharga US$833 juta atau sekitar Rp 9,6 triliun tersebut diperhitungkan akan mempunyai masa pakai setidaknya selama 5,5 tahun.

Namun apa yang terjadi ?
Hanya beberapa saat setelah diluncurkan, SBSS melewati Atlantik Selatan, tepatnya di sekitar wilayah angkasa Brasil, tiba-tiba semuanya menjadi tidak terkendali. Semua piranti canggih yang dimiliki dengan tiba-tiba menjadi tidak berfungsi.
Sehingga satelit yang sangat berharga sangat mahal tersebut menjadi tidak macet. Pesawat ternyata diterjang oleh gelombang radiasi yang melumpuhkan semua sensor dan perangkat elektroniknya.

Para ilmuwan akhirnya mengetahui bahwa Efek radiasi memang bisa menjadi bagian dari risiko penerbangan luar angkasa. Terjadinya jilatan api atau badai matahari (solar flare), distorsi magnetik acak, dan adanya sabuk radiasi Van Allen bisa menyebabkan penerbangan angkasa luar porak poranda.

Sabuk radiasi Van Allen merupakan dua sabuk ( imajiner ) dari partikel bermuatan di sekitar planet bumi yang ditahan di tempatnya oleh medan magnet bumi. Pesawat ruang angkasa yang menjadi paling rentan di sebuah area yang terpusat di 300 kilometer di lepas pantai Brasil, di mana sabuk radiasi Van Allen berada pada titik terdekatnya dengan permukaan Bumi.

Sabuk ini sendiri pertama kali ditemukan pada tahun 1950-an. Para ahli menyebutnya dengan Anomali Atlantik Selatan atau South Atlantic Anomaly (SAA). Sedangkan sejumlah orang awam lebih menyebutnya dengan 'Segitiga Bermuda Angkasa'.

Pada area inilah semua perangkat elektronik, termasuk komputer stasiun luar angkasa, teleskop antariksa, satelit bisa tiba-tiba menjadi rusak dan tidak berfungsi.
Para astronot pesawat luar angkasa melihat komputer mereka terkadang tidak berfungsi ketika melintasi wilayah anomali ini. Mereka juga melihat adanya kilatan cahaya aneh di wilayah ini.
Karena itulah sejumlah pesawat seperti Teleskop Luar Angkasa Hubble sengaja diprogram untuk menonaktifkan instrumen yang rentan saat melintasi SAA ini guna menghindari terjadinya kerusakan.

Sabuk Van Allen juga dipengaruhi oleh adanya badai Matahari serta kondisi dan cuaca di luar angkasa, sehingga dapat mengembang (melembung) dengan sangat luar biasa.
Dan ketika hal seperti ini terjadi, maka sabuk Van Allen bisa menyebabkan bahaya bagi satelit GPS dan komunikasi, serta para astronot.

Zona berbahaya SAA, selama ini dianggap masih belum dipelajari dan dipahami dengan lebih detil.
Karena itulah, sebagaimana dikutip dari laman New Scientist , Riccardo Campana dari National Institute for Astrophysics di Bologna, Italia berusaha untuk lebih mengungkapnya.
Bersama dengan para koleganya, Campana telah mendesain teleskop luar angkasa yang akan mengorbit tepat di bagian bawah zona berbahaya SAA. Campana mengatakan :
"Kebanyakan model radiasi yang digunakan dalam perencanaan misi luar angkasa didasarkan pada ekstrapolasi dari lintang tinggi.”
" Membuatnya kurang akurat untuk berbagai jenis orbit."

Dan agar bisa lebih akurat dalam menilai risikonya, maka tim Campana menganalisis data radiasi dari satelit satelit sinar-X yang disebut BeppoSAX. BeppoSAX sendiri mempunyai lintasan orbit yang sama dengan teleskop baru Campana, sehingga secara teratur BeppoSAX melewati tepian zona SAA.
Tim menemukan bahwa tingkat radiasi di lapisan bawah SAA ternyata jauh lebih kecil dibandingkan di lapisan atas. Tim juga melihat bahwa anomali yang terjadi secara perlahan bergerak ke arah barat. Hal ini secara umum sejalan dengan data dari satelit lain yang dianalisis pada 2009, yang mencakup wilayah tengah SAA tersebut.

Dengan analisis yang mereka lakukan akhirnya dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang fenomena South Atlantic Anomaly (SAA) ini yang menyebabkan terjadinya segitiga setan di langit Brasil.


Lihat juga :

You may like these posts