Misteri 300 Tahun “Cahaya Gempa” Terpecahkan. Ini Mekanismenya
Selama 300 tahun terakhir “cahaya gempa” yang timbul sesaat sebelum terjadi sebuah gempa bumi ( besar ) menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan.
Bahkan saking sulitnya, “cahaya gempa” menjadi sebuah misteri tersendiri. Bagi para penggemar masalah alien dan UFO, bahkan mengambil teori dengan mengaitkan “cahaya gempa” yang terjadi karena “ulah” dari mahluk asing alias alien.
Sebelumnya para ilmuwan juga menolak fenomena ini dan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan mitos belaka.
Bahkan saking sulitnya, “cahaya gempa” menjadi sebuah misteri tersendiri. Bagi para penggemar masalah alien dan UFO, bahkan mengambil teori dengan mengaitkan “cahaya gempa” yang terjadi karena “ulah” dari mahluk asing alias alien.
Sebelumnya para ilmuwan juga menolak fenomena ini dan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan mitos belaka.
Namun belakangan ini berkat bantuan kemajuan teknologi, kilatan cahaya gempa yang memancar ke langit dan “kebetulan” tertangkap kamera dapat dianalisa. Sehingga mulai dapat dipelajari dan dipecahkan mekanisme dan asal pembentukannya.
Kilatan cahaya gempa misterius pernah terlihat sesaat sebelum terjadi gempa yang mengguncang China dan Italia. Juga pada gempa Fukushima, Jepang.
Dan ketika terjadi cahaya gempa atau ada yang menyebutnya “bola cahaya” biasanya mendahului sebelum terjadi gempa bumi yang dahsyat.
Sebelum misteri 300 tahun tentang cahaya gempa ini mulai terpecahkan, seorang profesor fisika dari San Jose State University, Friedemann Freund, pernah melakukan pengkajian.
Dari hasil kajiannya, Freund menyatakan bahwa batuan seperti basal dan gabro, yang terbentuk di dalam mantel Bumi, memiliki cacat kecil dalam kristalnya.
Saat batuan mendapat tekanan hebat, cacat kecil dalam kristal dapat menghasilkan muatan listrik.
Sesaat sebelum gempa, gelombang seismik yang merambat melalui tanah dan menghantam lapisan batuan, akan menekan batuan dengan tekanan yang kuat dan cepat, menciptakan kondisi di mana sejumlah besar muatan listrik positif dan negatif tercipta.
Daya tersebut bisa bergerak bersamaan, mencapai kondisi yang disebut plasma, yang bisa 'meledak' ke luar dan memancar ke udara.
Hanya saja, mekanisme yang menyebabkan fenomena itu hanya terjadi dalam kondisi tertentu dan langka.
Komponen lain yang diperlukan untuk membentuk cahaya gempa diproduksi secara alami, adalah patahan vertikal jauh di dalam kerak bumi -- yang dalamnya bisa mencapai 60 mil atau 96 kilometer, bahkan lebih. Magma yang membeku menjadi gabro atau basal naik dari patahan-patahan itu, membentuk tumpukan mirip tanggul yang tebalnya puluhan hingga ratusan meter.
Peneliti lain Robert Theriault, ketua tim studi sekaligus geolog dari Quebec Ministry of Natural Resources, Kanada, juga menyatakan
Tumpukan tersebut berperilaku seperti corong, memusatkan muatan listrik hingga menjadi plasma terionisasi yang solid.
Dan saat plasma meledak ke udara, ia akan menghasilkan cahaya.
Hingga pada akhirnya, para ilmuwan Amerika Serikat menemukan titik terang yang menunjukkan bahwa cahaya gempa memang dapat dipicu oleh pergeseran lapisan tanah yang menghasilkan muatan listrik yang besar.
Para ilmuwan menemukan sebuah fenomena fisika baru.
Setelah melakukan model penelitian dengan menggunakan wadah tupperware besar yang diisi tepung, mengguncangkannya hingga terbentuk semacam retakan.
Dan ternyata bisa memproduksi muatan listrik sebesar 200 volt.
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan mereka, sebab tidak ada mekanisme yang dapat menjelaskan hal tersebut. Sehingga mereka menyebutnya sebagai kemungkinan temuan baru dalam fisika.
Hingga para ilmuwan mengulangi eksperimen yang sama namun menggunakan bahan granular -- yang terdiri dari butiran kecil -- lainnya.Dan menghasilkan fenomena tegangan yang sama.
Mereka mengasumsikan jika hal tersebut terjadi di patahan geologi, maka retakan pada bulir tanah akibat guncangan bisa saja menghasilkan jutaan volt muatan elektrostatik.
Dan itulah yang kemudian menghasilkan kilatan cahaya di udara -- menciptakan 'sistem peringatan dini' alami gempa bumi yang akan terjadi.
Dan untuk memahami lebih lanjut kaitan tersebut, para ilmuwan di Turki kemudian mendirikan sejumlah menara yang berguna untuk mengukur medan tegangan di udara di atas daerah rawan gempa.
Mereka menemukan bahwa memang ada fenomena yang mendahului sejumlah gempa besar yang magnitudnya 5 skala Richter atau lebih tinggi. Namun sinyal sinyal tegangan tidak selalu sama.
Kadang-kadang tinggi dan kadang-kadang rendah.