-->

Sekolah Untuk Pengusaha Dan Untuk Buruh Swasta Memangnya Beda ?

Siapa bilang berbeda ?

Para pengusaha ketika bersekolah juga melewati jenjang sekolah yang umum.
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, baru kuliah di Universitas, baik itu S-1 ataupun S-2.
Para karyawan swasta ( baca : buruh ) juga sama. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan ada yang sebagian kuliah di Universitas, S-1 bahkan ada juga yang sampai ke S-2.

Memang para pengusaha – jika diprosentase – rata-rata mengenyam pendidikan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pendidikan yang dienyam para buruh.
Namun tidak sedikit para pengusaha yang hanya berbekal pendidikan SD.
Dan sebaliknya tidak sedikit pula para buruh yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi sampai sarjana, bahkan S-2.
Sekolah untuk pengusaha ?
Kredit picture : m-edukasi.web.id

Jika yang berbeda nama sekolahannya mungkin iya.

Jadi siapa bilang sekolahan antara pengusaha dan para buruh berbeda ?

Bahkan ada juga yang sama-sama mengenyam pendidikan di sekolahan yang sama SD, SMP, sampai SMA , toh pada akhirnya, yang satu bisa menjadi pengusaha, yang satu “hanya” menjadi buruh swasta.
Siapa bilang berbeda ?

Sekolah untuk buruh ?
Kredit picture : Excat2manza.blogspot
Mau bukti ?

Jika mau sedikit jeli, buktinya sebenarnya malah sudah terpampang di setiap tahunnya.
Tahu maksud saya ?

Di negeri ini setiap tahunnya biasanya akan terjadi atau dilakukan penyesuaian ( meskipun seringnya tidak pernah sesuai ) gaji buruh.
Maka dari hal itu pula di setiap tahunnya selalu dilakukan perhitungan, berapa prosentase dan atau jumlah kenaikan gaji buruh yang akan ditetapkan untuk tahun yang bersangkutan.
Para ( perwakilan ) pengusaha akan menghitung prosentase dan jumlah kenaikan gaji yang “harus” diberikan kepada buruh.
Sebaliknya, para ( perwakilan ) buruh juga akan menghitung berapa prosentase dan jumlah kenaikan gaji yang “seharusnya” mereka terima.

Dan – konon - menurut aturan, dasar yang dipergunakan untuk menghitung kenaikan gaji ini – yaitu standard kelayakan hidup atau standard hidup yang layak – semestinya sama.
Namun apa yang terjadi ?

Dari pengamatan dan pengalamam selama berpuluh-puluh tahun sebagai buruh, FAKTANYA, hasil perhitungan yang didapat antara pengusaha dan buruh, tidak pernah sekalipun sama.

Bahkan sedikit mirip-pun tidak.
Padahal keduanya sama-sama melakukan perhitungan dengan dasar yang ( semestinya ) sama .

Hasil perhitungan yang didapat oleh buruh selalu lebih tinggi dari hasil perhitungan yang didapat oleh para pengusaha. Padahal – sekali lagi – dasar yang digunakan ( semestinya ) sama.
Jika perbedaan hasil perhitungan ini terjadi sekali dua kali, mungkin masih maklum dan dapat diterima.
Sebab bisa jadi ada salah satu pihak yang kebetulan “salah” dalam menghitung.
Tetapi nyatanya perbedaan hasil perhitungan kenaikan gaji ini pasti terjadi di setiap tahunnya.
Sedangkan masing-masing pihak menyatakan bahwa hasil perhitungan mereka “tidak ada yang salah”.

Jadi apa lagi yang mau dibantah ?

Jika antara pengusaha dan buruh sekolahnya sama, bisa dipastikan, hasil perhitungan gaji dan atau gaji untuk standard hidup layak yang mereka dapat juga sama. Sebab ilmu berhitung seharusnya memberikan hasil yang sama, sebab berhitung adalah “exact” pasti. Namun karena sekolah antara keduanya – pengusaha dan buruh – sepertinya berbeda, maka hasil perhitungan mereka juga berbeda.

Seperti yang terjadi di setiap tahunnya.
Jadi,….harap maklum saja.

Atau mau tahu yang lebih "ngeri" lagi, seperti yang dibawah ini :
> Turut Berduka Cita, Atas masih adanya gaji buruh yang minus di jaman Indonesia merdeka

You may like these posts